Minggu, 16 Juni 2013

JENIS-JENIS SLB

JENIS – JENIS SLB

Sistem pembelajaran yang efektif di SLB-A

Sebelum menjelaskan tentang sistem pembelajaran yang baik pada SLB-A, saya akan memberikan penjelasan singkat mengenai orang-orang yang berada pada SLB-A, yaitu tunanetra. Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan/ tidak berfungsinya indera penglihatan.
Tunanetra terbagi atas 2, yaitu:
  1. Kebutaan Total : yaitu dimana indera penglihata seseorang benar-benar sudah tidak dapat berfungsi lagi
  2. Low Vision : seseorang dikatakan Low vision apabila orang tersebut mengalami kekurangan penglihatan.

  Klasifikasi:
  1. Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan:
  1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir 
  2. Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil
  3. Tunenatra pada usia sekolah atau pada masa remaja
  4. Tunanetra pada usia dewasa
  5. Tunanetra dalam usia lajut. 

  1. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan:
  1. Tunanetra ringan 
  2. Tunanetra setengah berat
  3. Tunanetra berat.

 Media-media yang digunakan tunanetra:
  • Papan baca (Kenop),
  • Reglette dan Stilus (pena) yaitu alat tulis manual,
  • Mesin tik Braille  (Perkins Braille)
  • Kaset
Media Pembelajaran yang diterapkan pada anak-anak tunanetra di beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) meliputi:
  • alat bantu menulis huruf Braille (Reglette, Pen dan mesin ketik Braille);
  • alat bantu membaca huruf Braille (Papan huruf dan Optacon);
  • alat bantu berhitung (Cubaritma, Sempoa, Speech Calculator)
  • alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder.

Sistem belajar efektif
Untuk mengetahui sistem belajar yang efektif bagi penyandang tunenetra, ada beberapa prinsip yang harus kita ketahui terlebih dahulu. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1)      Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (SLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, perbedaan dari individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Karena adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang berhubungan dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak.
2)      Prinsip totalitas
Anak tunanetra kemungkinan dapat memperoleh pengalaman objek secara utuh jika menggunakan semua pengalaman alat inderanya yang masih berfungsi untuk memahami suatu konsep. Hal tersebut disebut juga dengan multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
3)      Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang memudahkan siswa untuk belajar dan sekaligus sebagai motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.

Strategi Sistem Belajar pada SLB-A
  • Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Siswa tidak hanya diajarkan tentang pembelajaran akademis, namun siswa harus diajarkan mengenai objek-objek yang ada disekitarnya dan diusahakan untuk menggunakan objek tersebut secara langsung
  • Guru perlu merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak, karena terdapat perbedaan-perbedaan jelas dari masing-masing anak yang mengalami kebutaan, seperti penerimaan diri, ras, budaya, keluarga, serta tingkatan dari kebutaan itu sendiri juga dapat mempengaruhi bagaimana anak tersebut belajar. Guru disarankan untuk membedakan kelas bagi anak yang mengalami kebutaan total dan low vision; dan juga guru diharapkan mengerti mengenai perbedaan-perbedaan kognisi dari anak tersebut.
  • Buatlah satu mata pelajaran, dimana siswa-siswa dapat menceritakan tentang dirinya dan diajarkan untuk terbuka dan menerima diri masing-masing bagi siswa tertentu atau dapat juga membuat sesi konseling bagi siswa yang membutuhkan hal tersebut.
  • Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi karena seperti yang kita ketahui anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Anak penyandang tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Untuk memudahkan proses tersebut, dibutuhkannya media atau alat yang perlu dikembangkan untuk anak tunanetra agar dapat memahami dan merasakan suatu objek.
  • Seperti yang dapat dilihat pada prinsip kedua, guru atau pembimbing bagi anak tunanetra disarankan untuk memberikan suatu kegiatan kegiatan yang bersifat outdoor, dimana anak-anak tunanetra dapat dikenalkan dengan objek-objek alam dengan menggunakan alat indera yang masih berfungsi.
  • Berikan waktu atau kegiatan bagi anak/siswa tunanetra untuk mengembangkan potensinya masing-masing, seperti bernyanyi, memainkan musik, melukis, dan lain-lain.



B. SLB-B
Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.
1)   Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins,1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2)   Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3)   Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

C. SLB-C


·         SLB bagian C adalah sekolah luar biasa untuk Tunagrahita yaitu individu yang memiliki intelegensi yang signifikan dibawah rata-rata disertai dengan ketidakmampuan adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Pembelajaran untuk tuna grahita ditujukan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.Klasifikasi tuna grahita berdasarkan pada tingkatan IQ.
1.      Tunagrahitaringan (IQ : 51-70),
2.      Tunagrahitasedang (IQ : 36-51),
3.      Tunagrahitaberat (IQ : 20-35),
4.      Tunagrahitasangatberat (IQ dibawah 20).
·         Anak tuna grahita adalah yang memiliki keterbelakangan mental dari anak normal pada umumnya. Di sekitar kita banyak dijumpai anak tuna grahita atau anak terbelakang mental. Mereka biasanya menarik diri dari pergaulan karena mereka sering dihina oleh teman dan lingkungannya sebagai anak yang bodoh.

·         Asas pengajaran yang selama ini telah diterapkan di sekolah luar biasa bagian C yaitu:

a.Asas Keperagaan
Karena anak tuna grahita sangat lambat daya tangkapnya maka penggunaan alat bantu mengajar sangat bermanfaat. Manfaat penggunaan alat peraga bagi anak tuna grahita yaitu untuk menarik minat anak untuk belajar agar anak tidak cepat bosan karena anak tuna grahita cepat sekali bosan dalam  menerima pelajaran, mencegah verbalisme yaitu anak hanyatahu kata-kata tanpa mengerti maksudnya anak tuna grahita sering menirukan apa yang didengar atau dikatakan oleh temannya padahal mereka tidak tahu maksud yang dikatakan tersebut, dengan alat peraga pengalaman anak akan diberikan secara baik yaitu dari yang paling kongkret menuju ke hal yang kongkret akhirnya ke hal-hal yang abstrak, anak akan mendapat pengertian yang mendalam. Untu kanak tuna grahita penggunaan alat peraga ini lebih banyak karena berguna membantu proses berpikir anak, meskipun pengertian materi-materi tersebut sangat sederhana.
b.Asas Kehidupan Konkret  
Di dalam penerapan asas ini anak diperlihatkan dengan benda atau dengan situasi yang sesungguhnya, kemudian dijelaskan pula penggunaan atau kenyataan yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari.
Suatu
contoh anak diajak kepasar, dikenalkan alat-alat atau kebutuhan makanan sehari-hari. Misal: panci, sendok, piring, garpu dan lain-lain beserta penggunaan atau bahan makan missal beras, sayuran, gula, dan sebagainya. Atau contoh lain anak dikenalkan alat-alat yang dipergunakan untuk membersihkan gigi, dijelaskan bagaimana cara menggunakan sekaligus diberi pengertian dengan menggosok gigi secara rutin dapat terjaga kesehatan giginya.
c.Asas Sosialisasi
Bersosialisasi penting sekali bagi anak tuna grahita. anak tuna grahita harus belajar mewujudkan dirinya sendiri dan diharapkan anak merasa bahwa dirinya punya pribadi yang ada persamaan dan perbedaan dengan pribadi yang lain. Dengan penerapan asas ini diharapkan anak terbelakang dapat menemukan tempat tertentu dalam masyarakat yang sesuai dengan kemampuannya dan dapat mengembangkan tingkah laku yang sesuai serta dapat diterima dalam masyarakat. 
d.Asas Skala Perkembangan Mental
Mengingat bahwa anak tuna grahita mempunyai keterbelakangan dalam kemampuan berpikir, akibatnya ada anak yang mempunyai umur kalender lebih banyak, sedang umur mentalnya dibawah umur kalendernya. Oleh sebab itu dalam pengajaran diterapkan asas skala perkembangan mental. Asas ini berhubungan dengan penempatan anak di dalam kelas-kelas. Pengajaran akan berhasil apabila di dalam suatu kelas perkembangan mental anak sama atau hamper sama, sehingga memudahkan dalam memberikan materi pelajaran. Meskipun demikian dalam menyampaikan pelajaran guru harus menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak.
e.Asas Individual
Maksud asas individual yaitu pemberian bantuan atau bimbingan kepada seseorang sesuai dengan kemampuannya agar dapat belajar dengan baik. Asas ini penting sekali bagi anak tuna grahita dikarenakan kemampuannya yang terbatas sehingga menghambat perkembangan kepribadian. Oleh karena itulah perlu pengajaran individual. Karena selain kemampuan yang terbatas, anak tuna grahita cenderung terganggu emosinya/ emosi tidak stabil dimana hal ini merupakan penghambat, maka perlu pengajaran individual guna mencari sebab dan cara mengurangi gangguan tersebut.
·         Implikasipendidikanbagianaktunagrahita:
1.      Terapigerak
2.      Terapibermain
3.      Kemampuanmerawatdiri
4.      Keterampilanhidup
5.      Terapibekerja
·         Pelayananpendidikan yang diberikan:
1.      Kelas transisi
Merupakan kelas bagi anak tuna grahita yang berada di sekolah regular sebagai persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
2.      Sekolah khusus (sekolah luar biasa bagian C dan C1)
Layanan pendidikan untuk anak tuna grahita yang diberikan pada sekolah luar biasa. Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari di kelas khusus, untuk anak tuna grahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tuna grahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
3.      Pendidikan terpadu
Anak tuna grahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru regular pada sekolah reguler. Jika anak tuna grahita mempunyai kesulitan akan mendapat bimbingan dari guru pembimbing khusus dari SLB terdekat.
4.      Program sekolah dirumah
Program ini ditujukan bagi anak tuna grahita yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasan, misal: sakit.

5.      Program inklusif
Layanan pendidikan inklusi diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tuna grahita belajar bersama – sama dengan anak reguler,pada kelas dan guru/pembimbing yang sama.                  
6.      Panti (Griya) Rehabilitasi Panti ini ditujukan bagi anak tuna grahita berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan,pendengaran, atau motorik.

D. SLB-D
Sistem Pendidikan Bagi Anak Tunadaksa
Anak Tunadaksa (cacat tubuh) termasuk salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan atau kecacatan pada fisiknya, yaitu pada sistem otot, tulang dan persendian akibat dari adanya penyakit, kecelakaan, bawaan sejak lahir, dan atau kerusakan di otak.
Kelainan atau kecacatan yang disandang oleh seseorang memiliki dampak langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder), baik terhadap diri anak yang memiliki kecacatan itu sendiri maupun terhadap keluarga dan masyarakat.
Dampak langsung atau primer dari kecacatan tunadaksa adalah adanya gangguan mobilitas atau ambulasi, gangguan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (Aktivity of Daily Living/ADL), gangguan dalam komunikasi, gangguan fungsi mental, dan gangguan sensoris. Sedangkan dampak tidak langsung atau dampak sekunder adalah reaksi penyandang kelainan tersebut (Franklin C.Schortz,1980). Artinya bagaimana anak menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh kecacatan yang disandang dalam kehidupannya. Semua dampak kecacatan tersebut akhirnya akan menimbulkan permasalahan. Karena itu, masalah tersebut perlu segera memperoleh penanganan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.
Pada dasarnya kebutuhan anak Tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: kebutuhan untuk memperoleh pelayanan medik guna mengurangi permasalahan yang dialami anak di bidang medis, kebutuhan untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi gangguan fungsi sebagai dampak dari adanya kecacatan tunadaksa, dan kebutuhan untuk memperoleh pendidikan khusus. Rehabilitasi pendidikan diwujudkan berupa Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagian D (Tunadaksa).
Tujuan umum pendidikan di SLB-D adalah untuk mengembangkan potensi siswa secara optimal dan tujuan khususnya agar siswa dapat mandiri minimal dapat mengurus dirinya sendiri, menjadi lebih baik. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut di sekolah telah melaksanakan berbagai kegiatan seperti pembelajaran, latihan, dan bimbingan baik pada siswa maupun pada orang tuanya.  

B. PENDIDIKAN YANG IDEAL BAGI ANAK TUNADAKSA
Tujuan pendidikan anak Tunadaksa bersifat ganda (dual purpose), yaitu yang berhubungan dengan aspek rehabilitasi pemulihan dan pengembangan fungsi fisik, dan yang berkaitan dengan pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Frances P. Connor (1995) mengemukakan sekurang-kurangnya ada 7 aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak Tunadaksa melalui pendidikan, yaitu: (1) pengembangan intelektual dan akademik, (2) membantu perkembangan fisik, (3) meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak, (4) mematangkan aspek sosial, (5) mematangkan moral dan spiritual, (6) meningkatkan ekspresi diri, dan (7) mempersiapkan masa depan anak.
Adapun prinsip dasar program pendidikannya
meliputi:
1.Keseluruhan anak (All the children)
2. Kenyataan (Reality)
3. Program yang dinamis (A dynamic program)
4. Kesempatan yang sama (Equality of opportunity)
5. Kerjasama (Cooperative)
Sedangkan prinsip khusus pendidikannya terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip individualisasi. Multisensori berarti banyak indera, maksudnya dalam proses pendidikan pada anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam diri anak agar kesan pendidikan yang diterimanya lebih baik. Prinsip individualisasi berarti kemampuan masing-masing diri individu lebih dijadikan titik tolak dalam memberikan pendidikan pada mereka. Model layanannya dapat berbentuk individual dan klasikal pada individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, bahan pelajaran yang diberikan pada siswa sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Layanan pendidikan untuk anak Tunadaksa dapat dilakukan dengan pendekatan guru kelas, guru mata pelajaran/bidang studi, campuran dan pengajaran tim.
Pembelajaran di sekolah idealnya sebagai berikut:
a.Perencanaan kegiatan belajar mengajar: Program pendidikan yang diindividualisasikan
b. Prinsip Pembelajaran: Prinsip multisensori dan prinsip individualisasi
 
c. Penataan Lingkungan Belajar.
Bangunan gedung memprioritaskan tiga kemudahan: mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian.
d. Personil: guru PLB, guru regular, dokter ahli anak, dokter ahli rehab medis, dokter ahli ortopedi, dokter ahli syaraf, psikolog, guru BP, social worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic dan prosthetic. 
e. Bimbingan Belajar Anak Tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan sedini mungkin sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, manakala telah memasuki program sekolah dasar.
f. Pembinaan Karier dan Pekerjaan
Untuk mempersiapkan masa depan anak, di sekolah perlu adanya pembinaan karier. Pengertian karier tidak dipandang hanya sebagai pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah atas, tetapi dibutuhkan oleh semua siswa sejak Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB materi pembahasannya adalah untuk memberikan pengertian dasar mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak dan memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam mempersiapkan kehidupan kelak; sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi selain melanjutkan materi tersebut telah diarahkan pada prevokasional maupun vokasional.
Pembinaan karier dan pekerjaan dimulai dari kegiatan asesmen karir dan pekerjaan agar dapat menyusun program pembinaan karir dan vokasional yang sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak tunadaksa. Berkaitan dengan penyusunan program, Philip (1986) mengemukakan bahwa program yang disusun harus berbentuk IEP (Individualized Educational Program) yang mempunyai ciri-ciri sasaran untuk remidi bila siswa mengalami kesulitan dalam membaca formulir pekerjaan, berkomunikasi dengan menggunakan telepon, penggunaan uang dalam pekerjaan, dll. Salah satu contoh pogram IEP adalah pengembangan motorik halus untuk pekerjaan menjahit, pertanaman, mengatur makanan, dll.
Alur pembinaan karier dan pekerjaan dapat disajikan seperti berikut:
Asesmen → pemograman → proses → evaluasi → daya guna/tepat guna

C. SISTEM PENDIDIKAN ATD DI RUANG SUMBER BELAJAR (RSB)
            cara melakukan proses belajar mengajar di Ruang Sumber Belajar (RSB). Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa: RSB lebih dapat meningkatkan potensi anak secara optimal, karena di RSB terdapat banyak sumber dan alat-alat yang dapat membantu pemahaman anak dalam belajar. Disamping itu juga anak sambil latihan bergerak dengan berpindah antar RSB, anak tidak mudah bosan dan pengajaran yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak.
1. Tujuan Belajar di RSB
Secara umum bertujuan untuk mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin, dan secara khusus agar anak Tunadaksa dapat mandiri baik dalam mengurus dirinya sendiri maupun dapat menghidupi dirinya. Minimal menjadi lebih baik atau selangkah lebih maju dari apa yang telah dimiliki anak.

2. Proses Belajar di RSB
Langkah-langkah belajar di RSB melalui prosedur sebagai berikut:ATD→PENGELOMPOKAN→ASSESMEN→PENYUSUNAN PROGRAM (IEP)→PELAKSANAAN PBM DI RSB→EVALUASI→FOLLOW UP.
Berdasarkan proses tersebut, maka RSB ditata sesuai dengan kurikulum yang digunakan, yaitu meliputi:
a. Ruang assesmen
b. Ruang program umum yang terdiri dari semua bidang studi yang diajarkan, yaitu: RSB Agama, RSB Bahasa, RSB Matematika, RSB IPA, RSB IPS, RSB PPKN, RSB Kesenian, RSB Keterampilan, dan RSB Penjaskes.
c. Ruang program khusus yang terdiri dari: RSB Bina Diri, RSB Bina Gerak, dan RSB Bina Bicara.
d. Ruang program muatan lokal yang terdiri dari: RSB Kesenian Daerah
e. Ruang program pilihan yang terdiri dari: RSB Pertukangan, menjahit,   memasak, komputer, fotograpi, dll.
3. Cara Belajar di RSB
Sebelum belajar di RSB, ATD perlu diklasifikasikan sesuai dengan kriteria menjadi kelompok akademik, kelompok keterampilan, kelompok pengembangan, dan kelompok Autis. Kegiatan selanjutnya adalah sebagai berikut:  
a. Melaksanakan assesmen per anak sebagai dasar penyusunan program.
Adapun jenis asesmen yang dilakukan meliputi:
1) Pengumpulan data kemampuan dan ketidakmampuan fisik tentang: kekuatan otot-otot, luas daerah gerak sendi (Range of Motion/ROM), kemampuan motorik halus dan motorik kasar, dan kemampuan gerak dasar tubuh yang dilakukan oleh Fisioterapist dan dokter ahli rehabilitasi.
2) Pengumpulan data kemampuan psikis tentang: tingkat kecerdasan, bakat, minat, dan emosi, dilakukan oleh Psikolog.
3) Pengumpulan data kemampuan akademik dan keterampilan dasar tentang: calistung, bidang studi, dan aktivitas kehidupan sehari-hari (Aktivity of Daily  Living/ADL) dilakukan oleh guru-guru.
4) Pengumpulan data kemampuan sosialnya, dilakukan oleh guru dan sosial worker.
5) Pengumpulan data kemampuan keterampilan/vocasional dilakukan oleh guru keterampilan.
b. Penyusunan Program
1) Program kelompok disusun sebagai berikut:
a) Kelompok akademik programnya sesuai kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan nyata anak.
b) Kelompok keterampilan programnya: Calistung dan keterampilan dasar sesuai dengan kemampuannya.
c) Kelompok pengembangan programnya: sosialisasi, bermain, dan day care d) Kelompok autis, programnya individual
2) Program individual disusun berdasarkan kemampuan masing-masing anak c. Pelaksanaan Program Belajar di RSB
Proses belajar mengajar di RSB dilaksanakan per kelompok yang kemampuannya sama atau hampir sama. Proses belajarnya bertitik tolak pada kemampuan masing-masing anak dengan berprinsip pada individualisasi  pengajaran.   d. Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan baik pada saat proses belajar berlangsung maupun setelah selesai (Evaluasi proses dan hasil).
e. Bimbingan Belajar
Bagi ATD yang mengalami kesulitan dalam belajar perlu diberikan bimbingan baik secara individual maupun secara kelompok dengan remedial teaching. 
f. Pembinaan Karier dan Pekerjaan
Kegiatannya dimulai sejak melakukan asesmen kemampuan keterampilan dasar oleh guru keterampilan dan psikolog untuk mengetahui kemampuan dan minatnya. Selanjutnya disusun programnya sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak. Pelaksanaannya diintegrasikan dalam proses belajar mengajar. Bagi siswa pasca sekolah perlu pembinaan dan latihan-latihan khusus untuk mempersiapkan pekerjaannya.

E. SLB-E
Istilah tunalaras berasal dari dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” berarti sesuai. Jadi anak tunalaras berarti anak yang bertingkah laku kurang sesuai dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang terdapat didalam masyarakat tempat ia berada.
Berangkat dari pemikiran di atas, seseorang yang diidentifikasi mengalami gangguan atau kelainan perilaku adalah individu yang; (1) tidak mampu mendefinisikan secara tepat kesehatan mental dan perilaku yang normal, (2) tidak mampu mengukur emosi dan perilakunya sendiri, dan (3) mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi sosialisasi
Anak yang dikategorikan memiliki kelainan emosi (emotional disturb) adalah anak yang mengalami kesulitan menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial karena adanya tekanan dari dalam  (inner tension), akibat adanya hal-hal yang bersifat neurotic atau psikotic. Indikasi anak berkelainan emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang ditunjukkan dalam bentuk kecemasan yang mendalam (anxiety, neurotism) maupun perilaku psikose. Perilaku anak penyandang kelainan emosi dalam konteks yang lebih besar mengalami penyimpangan penyesuaian perilaku social.
Beberapa bentuk kelainan perilaku atau ketunalarasan yang dikategorikan kesulitan penyesuaian perilaku sosial (social maladjusted) dan kelainan emosi (emotional disturb), dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Anak kesulitan penyesuaian sosial dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
  2. Anak kelainan emosi, ekspresi wujudnya ditampakkan dalam bentuk sebagai berikut:
  3. Kecemasan mendalam tetapi kabur dan tidak menentu arah kecemasan yang dituju (anxiety neurotic). Kondisi ini digunakan sebagai alat untuk mempertahankan diri melalui represi.
  4. Kelemahan seluruh jasmani dan rohani yang disertai dengan berbagai keluhan sakit pada beberapa bagian badannya (astenica) yang sukar diselesaikan. Alat untuk mempertahankan diri dari kondisi ini melalui pnarikan diri dari pergaulan.
  5. Gejala yang merupakan tantangan balas dendam karena adanya perlakuan yang kasar (hysterica konversia). Kondisi ini terjadi akibat perlakuan kasar yang diterima sehingga ia juga akan berlaku kasar terhadap orang lain sebagai balas dendam untuk kepuasan dirinya.
Layanan Bagi Anak Tunalaras

  1. 1.      Jenis jenis layanan
Dalam jenis-jenis layanan dalam buku pengantar pendidikan luar biasa akan dikemukakan beberapa hal, seperti berikut.  
  1. a. Mengurangi atau menghilangkan kondisi yang tidak menguntungkan yang menimbulkan atau menambah adanya gangguan perilaku.
Adapun kondisi yang tidak menguntungkan itu adalah sebagai berikut
1)      Lingkungan fisik yang tidak memadai seperti ukuran kelas yang kecil dan sanitasi yang bruruk. Tidak jarang hal ini akan menjadikan anak merasa bosan dan tidak betah berada disekolah.
2)      Disiplin  sekolah yang kaku dan tidak konsisten, seperti peraturan  sekolah yang member hukuman tanpa memperhatikan berat dan ringannya pelanggaran siswa. Keadaan ini akan membuat anak merasatidak puas terhadap sekolah
3)      Guru yang tidak simpatik sehingga situasi belajar tidak menarik. Akibatnya murid sering membolos berkeliaran di luar sekolah pada jaman belajar, kadang-kadang digunakan untuk merokok, tawuran, dan lain-lain.
4)      Kurikulum yang digunakan tidak berdasarkan kebutuhan anak. Akibatnya anak harus mengikuti kurikulum bagi semua anak walaupun hal itu tidak sesuai dengan bakatnya. Demikian pula kurikulum yang berubah-ubah menjadikan anak merasa jenuh, dan melelahkan.
5)      Metode dan teknik mengajar yang kurang mengaktifkan anak dapat mengakibatkan anak bosan dan merasa lelah.

Selanjutnya Kauffman (1985) mengemukakan ada enam kondisi yang menyebabkan ketunalarasan dan kegagalan belajar, yaitu:
1)      Guru yang tidak sensitive terhadap kepribadian anak
2)      Harapan guru yang tidak wajar
3)      Pengelolaan belajar yang tidak konsisten
4)      Pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional
5)      Pola reinforcement yang keliru, misalnya diberikanpada saat anak berperilaku  tidak wajar
6)      Model/contoh yang tidak baik dari guru dan dari teman sebaya.
Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan tersebut agar dihindari sehingga tidak terjadi perkembangan anak kearah penyimpangan perilaku dan kegagalan akademiknya. Lingkungan sekolah yang ditata dengan baik akan menyenangkan anak belajar dan terhindar dari perasaan bosan, lelah, serta tingkah laku yang tidak wajar.

  1. b.  Menentukan model-model dan teknik pendekatan
1)      Model pendekatan
Sehubungan dengan model yang digunakan dalam memberikan layanan kepada anak tunalaras Kauffman (1985) mengemukakan jenis-jenis model pendekatan sebagai berikut.
  • Model biogenetic
Model ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku disebabkan oleh kecacatan genetic atau biokimiawi sehingga penyembuhannya ditekankan pada pengobatan, diet, olahraga, operasi, atau mengubah lingkungannya
  • Model behavioral (tingkah laku)
Model ini mempunyai asumsibahwa gangguan emosi merupakan indikasi ketidakmampuan menyesuaikan diri yang terbentuk, bertahan, dan mungkin berkembang karena berinteraksi dengan lingkungan, baik di sekolah maupun di rumah. Oleh karena itu, penangannya tidak hanya ditujukan kepada anak tetapi pada lingkungan tempat anak belajar dan tinggal
  • Model psikodinamika
Model ini berpandangan bahwa perilaku yang menyimpang atau gangguan emosi disebabkan oleh gangguan atau hambatan yang terjadi dalam proses perkembangan kepribadian karena berbagai factor sehingga kemampuan yang diharapkan sesuai dengan usianya terganggu. Ada juga yang mengatakan adanya konflik batin yang tidak teratasi. Oelh karena itu, untuk mengatasi gangguan perilaku itu dapat diadakan pengajaran psikoedukasional, yaitu menggabungkan usaha membantu anak dalam mengekspresikan dan mengendalikan perasaannya.
  • Model ekologis
Model ini menganggap bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena adanya disfungsi antara anak dengan lingkungannya. Oleh kaena itu, model ini menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar menguoayakan interaksi yang baik antara anak tentang lingkungannya, misalnya dengan mengubah persepsi orang dewasa tentang anak atau memodifikasi persepsi anak dengan lingkungannya. Rhoden (1967) menyatakan bahwa masalah perilaku adalah akibat interaksi destruktif antara anak dengan lingkungannya (keluarga, teman sebaya, guru, dan sekelompok kebudayaannya)

2)      Teknik pendekatan
Beberapa teknik pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah perilaku, di antaranya adalah sebagai berikut:
  • Perawatan dengan obat
Kavale dan Nye (1984) mengemukakan bahwa obat-obatan dapat mengurangi atau menghilangkan gangguan perilaku, seperti adanya perbaikan perhatian, hasil belajar dan nilai tes yang baik, serta anak hiperaktif menuju kearah perbaikan.
  • Modifikasi perilaku
Salah satu teknik yang banyak dilakukan untuk mendorong perilaku prososial dan mengurangi perilaku antisocial adalah penyesuaian perilaku melalui operant conditioning dan task analysis (analisis tugas). Dengan operant conditioning kita mngendalikan stimulus yang mengikuti respons. Pengondisian operant berdasarkan prinsip dasar bahwa perilaku adalah suatu fungsi konsekuensi penerapan stimulus positif segera setelah suatu respons merupakan hukuman.
Ada beberapa langkah melakukan modifikasi perilaku, yaitu:
a)      Menjelaskan perilaku yang akan diubah
b)      Menyediakan bahan yang mengharuskan anak untuk duduk diam
c)      Mengatakan perilaku yang diterima.
Task analysis dilaksanakan dengan cara menata tujuan dan tugas dengan lengkap, membuat tugas dengan terperinci sehingga anak dapat melakukannya, barulah anak mengerjakan tugas itu dalam jangka waktu tertentu, mengadakan pujian bila anak berhasil.
a)      Strategi psikodinamika
Tujuan utama pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi sadar akan kebutuhannya, keinginan, dan kekuatannya sendiri. Penganjur strategi ini menyarankan agar dilakukan evaluasi diagnostic, perawatan, pengambilan keputusan, dan prosedur psikiatrik. Mereka melihat bahwa perilaku maladaptive adalah pertanda konflik jiwa. Mereka percaya bahwa penyingkiran suatu gejala tanpa menghilangkan penyebabnya hanya menyebabkan penggantian dengan gejala lainnya.
b)      Strategi ekologi
Pendukung teknik, mengasumsikan bahwa dengan diciptakannya lingkungan yang baik maka perilaku anak akan baik pula.

  1. c.  Tempat layanan
Tempat layanan pendidikan bagi anak yang mengalamigangguan perilaku adalah ditempatkan disekolah khusus dan ada pula yang dimasukkan dalam kelas-kelas biasa yaitu belajar bersama-sama dengan anak normal. Berikut ini akan dikemukakan macam-macam tempat pendidikan anak tunalaras.
1)      Tempat khusus
Tempat ini dikenal dengan Sekolah Luar Biasa Anak Tunalaras (SLB-E). sama halnya dengan sekolah luar biasa yang lain, SLB-E memiliki kurikulum dan struktur pelaksanaannya yang disesuaikan dengan keadaan anak tunalaras. Anak yang diterima pada lembaga khusus ini biasanya anak yang mengalami gangguan perilaku yang sedang dan berat. Maksudnya perilaku anak  telah mengarah pada tindakan criminal dan sangat mengganggu lingkungannya. Pelaksanaan pendidikan anak tunalaras dapat and abaca pada pelaksanaan pendidikan anak luar biasa jenis lain karena prinsipnya adalah sama.

2)      Tempat integrasi (terpadu)
Dari banyak jenis anak tunalaras, ada 3 jenis, yaitu hyperactive, distraktibilitas, dan impulsitas yang kemungkinan banyak dijumpai di sekolah biasa (umum), di mana mereka belajar bersama-sama dengan anak normal. Oleh sebab itu, pada uraian berikut akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan layanan terhadap anak-anak tersebut.
  • Hiperaktif
Berdasarkan klasifikasi dan karakteristik yang dikemukakan oleh Quay (Hallahan & Kauffman, 1986), hiperaktif termasuk dalamdimensi anak yang bertingkah laku kacau. Cirri-ciri anak hiperaktif adalah sebgai berikut:
a)      Gerakkannya terlalu katif, tidak bertujuan, tak mau diam sepanjang hari, bahkan waktu tidur ada yang melakukan gerakdiluar kesadaran
b)      Suka mengacau teman-teman sebayanya, dalam bertindak hanya menurutkan kata hatinya sendiri dan mudah tersinggung
c)      Sulit memperhatikan dengan baik
Hiperaktif disebabkan oleh banyak factor, seperti disfungsi otak, kekurangan oksigen, kecelakaan fisik, keracunan serbuk timah, kekurangan giizi dan perawatan pada masa tumbuh kembang, minuman keras dan obar-obatan terlarangselama kehamilan, kemiskinan, dan lingkungan keluarga yang tidak sehat.
Berdasarkan factor-faktor peyebab tersebut maka dapat diasumsiskan bebrapa cara/teknik dalammengadakan layanan, antara lain medikasi/penggunaan obat, diet, modifikasi tingkah laku, lingkungan ynag terstruktur, pengendalian diri, modeling.
Adapun pelaksanaan dari teknik-teknik tersebut diadaptasikan dari Kauffman (1985), yaitu:
a)      Medikasi
Bagi anak hiperaktif, medikasi sering dipakai adalah obat-obatan perangsang saraf terutama yang ada kaitannya dengan penenangan
b)      Diet
Diet yang dianjurkan adalah pantangan berbagai macam makanan termasuk makanan yang mengandung zat pewarna atau penyedap rasa tiruan yang dapat menyebabkan hiperaktif. Juga disarankan agar dihindari penggunaan obat kumur yang mengandung zat pewarna.
c)      Modifikasi tingkah laku
Semua perilaku merupakan hasilbelajar atau diperoleh dari interaksi individu dengan lingkungannya. Oleh karena itu, perilaku juga dapat diubah dan dikendalikan dengan mengukur pola interaksi antara individu dengan lingkungannya. Agar penerapan teknik modifikasi tingkah laku berhasil perlu diperhatikan berbagai prinsip antara lain : menentukan kapan harus member hadiah, kapan harus member hukuman, serta jenis penguat apa yang pantas dipakai.
d)      Lingkungan yang terstruktur
Pada dasarnya, pendekatan ini menekankan pengaturan lingkungan belajar anak sehingga tidak menjadi penyebab munculnya perilaku hiperaktif, misalnya dengan mengurangi objek/benda/warna/suara di kelas yang dapat mengganggu perhatian anak, penjelasan secara terperinci jenis perilaku yang dapat/tidak dapat dilakukan anak di kelas, pemberian konsekuensi(hadiah, hukuman) yang sangat konsisten, dan system pembelajaran yang sangat terstruktur.
e)      Modeling
Perilaku yang ditunjukkan anak sering merupakan akibat meniru atau mencontoh perilaku yang diberikan oleh teman sekelas atau orang dewasa. Dengan asumsi ini, sistem meniru (modeling) dapat dipakai untuk mengurangi perilaku hiperaktif. Prosedur yang dipakai adalah dengan menyuruh anak normal di kelas untuk member contoh perilaku yang baik.
f)        Biofeedback
Biofeedback merupakan teknik pengendalian perilaku atas proses biologis internal dengan cara member informasi kepada anak mengenai kondisi perilaku dan tubuhnya. Adapun pelaksanaannya, antara lain anak dilatih untuk mengendalikan otot-ototnya dengan memantau sendiri tekanan ototnya.

  1. 2.   Macam-macam layanan
Di dalam pelaksanaan penyelenggaraannya kita mengenal macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras/sosial sebagai berikut:
  1. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler. Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
  2. Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
  3. Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
  4. Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.

F. SLB-G
Pengertian dan Karakteristik Anak Tunaganda
Yang disebut anak tunaganda adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius ,sehingga dia tidak hanya dapat diatas dengan suatu program pendidikan khusus untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati dengan variasi program pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki.
Anak tunaganda biasanya menunjukkan fenomena-fenomena perlaku di antaranya :
1.Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
2.
Perkembangan motorik dan fisiknya terlambat.
3. Seringkali menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak bertujuan.
4. Kurang dalam keterampilan menolong diri sendiri.
5.Jarang berperilaku dan berinteraksi yang sifatnya konstruktif.
6.Kecenderungan lupa akan keterampilan keterampilan yang sudah dikuasai.
7.Memiliki masalah dalam mengeneralisasikan keterampilan keterampialan dari suatu situasi ke situasi lainnya.
Klasifikasi anak Tunaganda
Pada dasarnya ada beberapa kombinasi kelaianan, di antaranya:
1. Kelainan utamanya tunagrahita.
Gabungannya dapat tunagrahita atau tunanetra. Gabungan dengan tunanetrainilah yang dipandang paling berat cara menanganinya.
2. Kelainan utamanya tunarungu.
Gabungannya dapat tunagrahita atau tunanetra. Gabungan dengan tunanetra inilah yang dipandang paling berat cara menanganinya.
3. kelainan utamanya tunanetra. 
Gabungannya dapat berwujud tunalaras, tunarungu, dan kelainan yang
4. Kelainanan utamanya tunadaksa. 
Gabungannya dapat berwujud tunagrahita, tunanetra, tunarungu, gayaemosi, dan kelainan lain.
5. Kelainan utamanya tunalaras. Gabungannya dapat berwujud austisme dan pendengaran.
6. Kombinasi kelainan lain.

Penyebab Anak tunaganda disebabkan oleh faktor yang variatif, yang dapat terjadi pada saat sebelum kelainan, saat kelahiran, dan atau setelah kelahiran.
1. Faktor Prenatal : ketidaknormalan kromosom komplikasi-komplikasi pada anak dalam kandungan ketidakcocokan Rh infeksi pada ibu, kekurangan gizi ibu yang sedang mengadung, serta terlalu banyak menkonsumsi obat dan alcohol.
2. Faktor Natal :
Kelahiran prematur kekurangan oksigen pada saat
 ke
lahiran luka pada otak saat kelahiran.  
3. Faktor natal : Kepala mengalami kecelakaan kendaraan ,jatuh ,dan  mendapat pukulan atau siksaan
4. Nutrisi yang salah : Anak tidan dirawat dangan baik, keracunan makanan atau penyakit tertentu yang sama, sehingga dapat berpengaruh tehadap otak (meningitis atau encephalities). 
Prevalensia Anak Tunaganda mengingat belum ada defininsi yang dapat diterima secara umum tentang anak tunaganda, maka tidak ada gambaran yang akurat tentang prevalensi anak tunaganda. jika menggunakan analog di Amerika Serikat, maka jumlah anak tunaganda berkisar sekitar 0,05% sampai dengan 0,1% dari populasi usia sebaya. Berdasarkan asumsi bahwa jumlah anak tunaganda di Indonesia proporsinya sama dengan yang di Amerika Serikat, maka jumlah anak anak usia sekolah di Indonesia yang sekitar 60 juta orang, maka anak tunaganda Indonesia sekitar 99.000 anak sampai 110.000 anak. 

LAYANAN PENDIDIKANNNYA
Pada masa lalu,tunaganda secara rutin dipisahkan dari sekolah regular,bahkan sekolah Khusus .Namun sejak tahun 80-an layanan pendidikan bagi anak tunaganda semakin mendapat perhatian di tengah-tengah masyarakat, dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus. Demikian juga program-program pendidikan bagi anak
tunaganda semakin dikembangkan untuk anak usia sedini mungkin.setidak-tidaknya program pendidikan lebih diorientasikan untuk meninmgkatkan kemandirian anak.untuk menjaga efekvitas program pendidikan,maka program seharusnya mengakes empat bidang utama, yaitu bidang domestik, rekreasional, ,kemasyarakatan, dan vokasional.Hasil asesmen ini mungkinkan dapat membantu dalam merumuskan tujuan yang lebih fungsional.Sementara itu dengan pengajaran seharusnya mencakup,di antaranya:ekspresi pilihan, komunikasi,pengembangan keterampilan fungsional,dan latihan keterampilan sosial sesuai dengan usianya,menyadari akan kondisi obyektif anak anak tunaganda,maka pendekatan multidipliner adalah penting.Oleh karena itu orang-orang yang sesuai dalam mengatasi anak tunaganda,seperti terapis bicara dan bahasa,terapis
bicara dan bahasa,terapi fisik dan okupasional seharusnya bekerjasama dengan guru-guru kelas,guru-guru khusus dan orangtua,karena perlajuan yg lebih cocok untuk mengatasi anak-anak tunaganda berkenaan dengan masalah ketererampilan adalah memberikan layanan yang terbaik daripada yang diberikan ditempat terapi yang terpisah.Untuk dapat menjamin kemandirian menjamin kemandirian anak tunaganda dalam proses pembelajaran perlu didukung dengan penataan kelas yang sesuai,alat bantu dalam meningkatan keterampilan fungsionalnya. Integrasi dengan anak seusia merupakan komponen lainnya yg penting.menghadirin sekolah regular dan berpartisipasi dalam kegiatan yg sama dengan anak-anak normal adalah penting untuk pengembangkan keterampilan sosial dan persahabatan,di samping dapat mendorong adanya perubahan sikap yg lebih  positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar